Orang-orang Menang dari Fikom Unpad

October 12, 2010 § Leave a comment

Wajahnya cukup serius ketika dia berusaha memasang spanduk bertuliskan ‘Angkatan 90’ di sekitar panggung Reuni Akbar dalam rangkaian Dies Natalis ke-50 Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Sabtu (9/10). Sedikit bercanda dengan temannya yang juga ikut membantu memasang spanduk itu, dia berbalik ke arah wartawan.

“Sebentar yah kalau mau wawancara. Saya pasang ini dulu,” katanya sambil tersenyum ramah kearah wartawan yang sudah mengekor lama di belakangnya.

Tak berapa lama, dia menuju suatu tempat di belakang gedung 4 kampus itu. Banyak yang berpakaian sama dengannya di tempat itu. Kaos hitam berkerah bertulisan angka sembilan puluh. Angka yang menunjukan tahun angkatannya.

Hagi Hagoromo (Mahasiswa Fikom Unpad perdiode 1990 – 1997) namanya. Wajahnya yang masih tampak muda tidak menjukan bahwa umurnya sudah seperempat abad lebih. Sedikit mengkerutkan mata, dia mulai mengingat dan bercerita mengenai sejarah hidupnya.

Hagoromo panggilan akrabnya. Dia pernah menjabat sebagai Editor in Chief di majalah Trax. Perjalanan untuk menuju jabatan itupun tidaklah mulus. Ketika pertama kali lulus, dia tidak langsung bekerja. Saat itu tepat sekali dimana Indonesia mengalami krisis moneter yang paling bersejarah. Banyak karyawan yang di PHK sepihak oleh perusahaan. Akhirnya, hagoromo muda mulai membuat usaha kecil-kecilan di Bandung.

Usahanya di bidang Grafis tak berlangsung lama. Tahun 2000, dia pindah ke Jakarta dan masuk ke tabloid Bintang Milenia. Dari sekian banyak lamaran yang dia kirim ke perusahaan media, hanya tabloid ini yang memanggilnya. Dua tahun kemudian, dia mengundurkan diri dari tabloid ini. Saat itu jabatannya sudah sebagai pemimpin redaksi.

Pernah bekerja di pernebitan buku, membuatnya tidak betah bertahan. Menurutnya, itu bukan dunianya. Hingga akhirnya dia dipanggil oleh majalah MTV Trax di saat istrinya baru melahirkan. Menerima tawaran itu, pria kelahiran 11 Desember 1971 itu diangkat menjadi pemimpin redaksi majalah yang sangat terkenal itu.

Menurut dia, itulah loncatan yang sangat besar dalam karirnya. Tanpa mengirimkan lamaran, dia dipanggil untuk menjadi pemimpin redaksi di majalah yang sudah punya nama di Indonesia.

Ketika dihubungkan dengan materi kuliah yang didapat dengan apa yang dihadapinya di dunia kerja sebenarnya, dia memberikan komentarnya.

“Sebenarnya, materi kuliah yang diberikan  fikom itu, baru permukaannya saja. Kalau sudah masuk ke dunia kerja, pengalaman di dunia kerjalah yang menjadi materi yang sangat berguna.  Yah, walaupun dasarnya emang ada di materi kuliah.”

Berbeda dengan sahabatnya, Nirwan Lesmana (Mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad Periode 1990-1996), ketika lulus dari jurusan Jurnalistik, dia tidak pernah sama sekali menjadi wartawan seperti kebanyakan teman-temannya. Apalagi kerja di media massa.

“Saya penghianat jurusan!” candanya di awal pembicaraan ketika disodorin banyak pertanyaan.

Pria yang semasa kuliah ini hobinya berorganisasi, pernah mempunyai bisnis kecil-kecilan yang dibangun bersama teman-temannya. Alasannya yaitu untuk membiayai kuliah dan mendapatkan tambahan uang jajan.

Walaupun tidak bertahan lama, dia lebih fokus untuk lulus tepat waktu. Saat itu dia termasuk lulusan pertama di angkatannya. Begitu lulus, dia bergabung dengan perusahaan yang dinaungi Bakrie. Merasa tidak betah, akhirnya dia bergabung dengan perusahaan Telkomsel. Saat itu Telkomsel masih berumur 2 tahun.

“Iya, waktu itu teman-teman saya pada lulus tahun 1997. Saat krisis moneter dan susah cari kerja. Nah, saat krisis itu, saya sudah bekerja di Telkomsel.  Jadi saya sih tenang-tenang saja waktu krisis moneter. Siapa yang nyangka tahun depan setelah saya lulus ada apa. Saya juga males kuliah lama-lama, nyusahin orang tua saja. Saya kan lahir dari keluarga yang biasa-biasa aja.”

Sampai saat ini, pria kelahiran Bandung ini masih bergabung dengan Telkomsel. Jabatan yang disandang pun sudah tinggi yaitu General Manager Telkomsel. Membahas soal dunia perkuliahan dan dunia kerja, dia hanya menjawab bahwa sedikit sekali ilmu yang terpakai dari materi perkuliahan ketika diterapkan di kehidupannya. Selebihnya adalah pengalaman dan usaha yang maksimal di dunia kerja sebenarnya.

Dia juga menyebutkan bahwa bahasa Inggris  yang harus diutamakan. Bahasa Inggris sangat terpakai dan berguna di dunia kerja. Sehingga dia sangat mendukung wacana bahwa Fikom akan menjadi World Class University.

“Yah, kalau mau sukses, utamakan bahasa Inggris.” Kata pria berbaju kotak-kotak biru itu sambil meninggalkan bangku yang didudukinya dari tadi.

Sama halnya dengan Jeflina (Mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad Periode 1968-1973). Ketika masanya, Fakultas Ilmu Komunikasi masih bernama Fakultas Publisistik. Dia mengambil Jurusan Hubungan Masyarakat. Sejak lulus, dia langsung mendapatkan kerja di hotel-hotel besar di daerah Bandung dan Jakarta.

Wajahnya yang masih cantik, menyiratkan semangatnya saat ditemui di dalam Gedung 4 tempat pembukaan reuni akbar Dies Natalis Fikom itu. Sambil mengeluarkan cerutunya, dia berkata.

“Sekarang Fikom udah beda, dulu banyak sekali mahasiswa dari Malaysia belajar ilmu komunikasi di sini. Tetapi sekarang, yang saya tahu udah dipenuhi oleh mahasiswa pribumi. Saya tidak tahu, apakah itu suatu kemajuan atau malah suatu kemunduran. Tapi saya harap itu suatu kemajuan. Apalagi ada wacana soal fikom akan menjadi World Class University.”

Sekarang pun dia masih aktif di dunia perhotelan. Dia mengatakan bahwa apa yang didapat saat kuliah berguna ketika menghadapi dunia kerja. Akan Tetapi, karena kerja lulusan ilmu komunikas lebih di bidang  praktisi di lapangan, pengalaman di lapanganlah yang berperan besar atas kesuksesannya.

Tak mau ketinggalan, Pria kelahiran Padang ini, Rizal Malik (Mahasiswa Fakultas Publisistik periode 1974-1981) juga bercerita bahwa dia sudah sukses dan sekarang bekerja di luar bidang Jurnalistik.. Menurut dia, tidak wajib lulusan Jurnalistik  harus jadi wartawan. Walaupun materi yang diberikan saat kuliah lebih fokus ke dunia Jurnalistik..

“Materi di dunia kuliah penting. Kita bisa mendapatkan dasar-dasar untuk menghadapi dunia kerja sesungguhnya..” komentarnya di sela-sela kesibukannya bertemu kangen dengan rekan-rekannya.

Sekarang, dia sudah tinggal di Yogyakarta dan mengajar di UGM sebagai dosen Kajian Amerika. Kalau dulu, dia masih bolak balik Jakarta-Yogyakarta, tetapi sekarang sudah menetap.

Disuruh mengenang masa-masa kuliahnya, dia mengatakan bahwa saat itu angkatannya hanya lima puluh orang dalam satu fakultas. Karena, pada masanya, Ilmu Komunikasi merupakan pilihan terkahir dari seluruh fakultas di Unpad. Akan tetapi sekarang sudah berkembang, dia juga kagum karena Ilmu Komunikasi menjadi banyak peminatnya. Hal ini ditandai dengan lulusannya yang banyak sukses dan berhasil.

Menanggapi hal ini,  dalam facebook Fikom Unpad Sepanjang Masa, Duddy Zein, ketua panitia Reuni Akbar dalam rangkaian Dies Natalis Fikom Unpad memeberikan pernyataan.

“Kami bangga Fikom Unpad menjadi bagian penting dalam mengantarkan Indonesia pada era informasi dan komunikasi serta perkembangan media massa yang seperti saat ini.” (dimas)

Berawal Dari Mimpi yang Mulia

October 12, 2010 § 1 Comment

Dari kecil, dia sudah suka sekali nyerocos berbicara. Walaupun kemampuan akademisnya tidak begitu baik, tetapi dia diberkahi  kemampuan berbicara yang lebih baik dibandingkan teman-temannya. Namanya adalah Arie Ardianto, 36 tahun. Cita-citanya yang sangat mulia adalah ingin membantu orang-orang yang ingin belajar tentang praktek radio yang sudah lama digelutinya.

Arie-begitulah sapaan khasnya-adalah pendiri Dj Arie School, tempat kursus pelatihan menjadi Penyiar Radio, Prensenter TV, MC, dan lain-lain di daerah Purnawarman, Bandung. Kursus ini dirintis pertama sejak tahun 2006 di Bandung. Menurutnya, modalnya dari uang pribadi dia sendiri. Dia menyewa tempat dan membeli peralatan praktik dasar dalam penyiaran radio.

Di daerah Purnawarman dia mendidik semua muridnya. Arie menyusun kurikulum berdasarkan pengalaman kerja yang pernah dia dapat. Pesertanya anak sekolah hingga orang dewasa. “Siapa saja pasti senang berbicara,” katanya.

Biaya kursus per program Rp 1,6 juta untuk kelas reguler-kecuali kelas Minggu Rp 450 ribu. Pelajarannya dimulai pada sore hingga malam setelah magrib. Tetapi tidak menutup kemungkinan kelas dibuka hingga jam 9 malam ketika ada kegiatan mixing trial, kegiatan praktik uji coba melakukan mixing radio secara personal. Apalagi kualitas alatnya udah cukup modern untuk pelatihan dasar penyiaran.

Menurutnya, biaya segitu cukuplah murah. Dibandingkan uang tersebut dipakai untuk nongkrong gak jelas, belanja yang bikin boros, dan lain sebagainya. Mendingan dipakai untuk belajar dan mengasah kemampuan diri. “Maap yah sebelumnya, tapi daripada uang lo diapakai buat hal-hal gak jelas, mendingan lo cari teman disini sambil belajar ngomong. Dua tiga pulau terlampaui,” kata pendiri sekolah itu semangat.

Hasilnya? Dj Arie School sudah melahirkan hampir lima ribu alumnus. Ada yang bekerja menjadi penyiar radio di Bandung maupun Jakarta (atau daerah lain), ada yang menjadi presenter televisi, ada yang menjadi produser di radio maupun televisi, dan lain sebagainya. Tetapi tidak sedikit juga yang lulus dari Dj Arie hanya ingin melatih cara berbicara di depan umum. “Kalau semua orang bisa bicara, tetapi kan belum tentu semua berbicara dengan isi pembicaraan yang berkualitas,” lanjutnya.

Salah satu kegiatan paling disukai para alumnus dan siswa Dj Arie School adalah Study on Location. Di kegiatan itu dia mengajak siswanya untuk belajar langsung ke radio maupun TV tempat praktik dunia kerja sebenarnya. Tidak sedikit alumnus yang sudah memiliki nama membantu Arie dalam memberikan ceramah menarik kepada siswanya. Malahan, terkadang alumnus tersebut tidak ingin dibayar sebagai bukti bakti kepada Dj Arie School.

Lewat kegiatan inilah, Arie memunculkan semangat para siswanya untuk mempunyai cita-cita setinggi mungkin di dunia seperti itu. Dari cara berbicara, melihat pengolahan radio, dan membentuk kepercayaan diri. “Setidaknya, orang yang masuk Dj Arie School pas keluar mempunyai kepercayaan diri yang besar.”

****

Lahir dan besar di Bandung, Jawa Barat, bakat kreatif Arie terasah sejak kecil. Keahlian berbicaranya yang begitu lancar hingga dikatai bahwa urat malunya telah putus berbuah manis. Sejak SMA, dia sudah menggemari dunia komunikasi. Hingga akhirnya kuliah pun, dia mengambil jurusan komunikasi di Universitas Islam Bandung.

Setelah lulus kuliah, dia melanjutkan studi ke Sidney. Di negeri orang inilah dia mendapat pengalaman hidup yang sangat banyak. Hingga akhirnya dia benar-benar menyelesaikan seluruh studinya.

Awal karir jajaka priangan ini adalah menjadi penyiar di Ardan FM selama lima tahun, hingga akhirnya dia terus berpindah-pindah radio dan pada suatu hari tercetuslah ide untuk membuat Dj Arie School. Saat itu, dia tidak melakukan riset terhadap pasar. Hanya bermodal pemikiran semata bahwa dia akan melakukan eksperimen berbuah bayi Dj Arie School. “Yah, saya gak pernah riset. Inilah eksperimen saya. Bayi Dj Arie School,” ujarnya.

Dari Hobi hingga menjadi bisnis dan tanpa riset terlebih dahulu bukan berarti tidak pernah mengalami masa kritis. Dua tahun pertama, sekolah penyiaran itu mengalami masa kritis kekurangan siswa. Promo besar-besaran dilakukan agar mendapatkan murid-murid yang mau belajar dengannya. Saat itu, dialah yang menjadi pengajar pertama di sekolahnya sendiri.

“Wah jangan salah, gue ingat banget waktu baru pertama didirikan, murid pertama cuma 14 orang, bulan berikutnya makin sedikit lagi, dari tujuh, lima, enam, wah semuanya bisa dihitung jari. Alhamdullilah sekarang udah makin berkembang, satu angkatan 20 orang dan makin laris” ceritanya.

Dia juga tidak putus asa terus melakukan promosi di berbagai media. Dia mendisain poster. Dia membuat facebook Dj Arie School. Dan mengumumkan melalui mulut ke mulut oleh para alumnus yang telah sukses. Hal ini dilakukan demi promosi untuk sekolahnya. “Gue juga sering gratis ngasih seminar kalau ada yang minta.”

Beruntungnya, dua tahun menjalani bisnis ini. Dia sudah bisa menawarkan franchise sekolahnya ke beberapa daerah. Sekarang, cabang yang sudah berdiri sih baru di daerah Cirebon, dan sebentar lagi juga akan ada di Batam dan untuk daerah lainnya menyusul.

Hal yang membedakan sekolahnya dengan sekolah broadcaster lainnya yaitu kurikulum yang menurutnya seratus persen praktik. Sehingga lulusannya siap pakai dan langsung bisa bekerja. “Untuk saingan sih, gue gak mikirin itu. Yang terpenting bagaimana gue bisa memberikan yang terbaik terhadap siswa gue,” ucap Arie.

Menurutnya, bisnis seperti ini tidaklah mudah. Kita harus benar-benar ulet, serius, dan tidak mudah putus asa dalam mengerjakannya. “Dan itupun sudah saya katakana kepada rekan yang membeli franchise saya, jangan putus asa membangun bisnis ini. Promosi paling baik adalah melalui mulut kemulut,” sarannya.

Untuk omzet, dia masih malu-malu menyebutkan dan hanya mengatakan. “Yah, cukuplah untuk menghidupi kedua anaknya dan istrinya. Yang terpenting ya itu, saya bisa berbagi ilmu dengan orang lain,” ujarnya mengakhiri pembicaraan sambil menunjukan peralatan praktik di kelas. (dimas)

Where Am I?

You are currently viewing the archives for October, 2010 at Dimas & Dimce.