March 18, 2010 § Leave a comment

Art : FLORISH ‘part 1’ (by me)

ini gambar buat poster Flower days… di gambarnya pakai Adobe Photoshop.. kapan saya bisa membeli pen-tablet >.<

Kenangan

March 15, 2010 § Leave a comment

Malam ini tidak ada satupun bintang bersinar. Angin berhembus manis pelan-pelan. Daun-daun di pohon juga hanya menari-nari seadanya. Cahaya bulan masih ada, tetapi tidak terlalu kelihatan. Tidak ada suara jangkrik. Tidak ada suara cicak. Hanya suara ramai orang-orang tertawa di rumah sebelah. Mereka sepertinya sedang bahagia. Seperti halnya Allysa. Dia sedari tadi tersenyum, walaupun matanya masih sembab. Kakinya di lipat diatas bangku teras rumah. Dan dia menatap erat-erat mata lawan bicaranya.

“Beb, kamu masih ingat gak waktu kita masih SD. Kamu kan suka jahilin aku. Aku inget banget, waktu aku takut sama badut kamu narik tangan aku kuat-kuat biar aku salaman sama badut. Alhasil aku kan jadi nangis sekenceng-kencengnya dan kamu hanya tertawa terbahak-bahak. Saat itu aku kesel banget sama kamu,” Ujar Allysa.

“Hahaha aku inget banget kok. Kalau gak salah waktu SD kita jalan-jalan ke Dufan kan? Lagian kamu cengeng banget sih! Baru ama badut dufan aja udah takut, Kan Lucu,” Kata Andri sambil mengacak-ngacak rambut Allysa yang mirip cowok.

“HEH! Tetep aja mau lucu atau ngga, dia badut. Tapi kan sekarang sudah engga. Lagian emang dulu itu badutnya serem-serem semua,”

“Mau dulu, mau sekarang. Kayaknya sama aja deh. Lebay ah kamu.. Hahaha,”

“Tapi aku suka kesel sama kamu, kamu itu rese banget dulu. Masih inget gak waktu Irvan punya anjing baru. Terus waktu itu dengan jahatnya kamu nyuruh Irvan biar anjingnya ngejar-ngejar aku. Sumpah itu jahat banget. Aku aja masih kesel kalau inget itu. Aku dikejar tuh anjing sampai aku jatuh,”

Andri tertawa terbahak-bahak dan makin lama makin kenceng.

“Jadi kamu ngambek ceritanya?”

“Ah, udah ah kamu gak seru. Masak dari tadi aku diketawain terus,”

“Abisnya kamu nginget-ngingetin hal yang konyol-konyol, gimana gak ketawa,” Dia mulai berhenti ketawa. Di sudut matanya keluar sedikit air mata.

“Tuh kan, aku ketawa sampai nangis nih, yang,” Tambahnya lagi.

“Gak usah lebay, deh,” Allysa membalas.

“Yang, tapi kamu inget gak. Waktu aku kena cacar. Cuma kamu aja yang jenguk aku. Waktu itu kamu bawa buah-buahan buat aku dari nyokapmu. Aku seneng banget deh waktu itu. Tapi aku juga kesel, yang,” Kata Andri melanjutkan obrolan.

“Loh, kok kesel. Kan aku udah baik-baiknya mau ngunjungi kamu. Untung aku udah pernah kena cacar waktu masih TK. Jadi aku udah tau kalau jenguk orang cacar sudah gak apa-apa. Mana aku bawa anggur kesukaan kamu,”

“Jenguk, sih jenguk. Tapi bukannya kamu yang ngabisin anggurnya waktu kamu nyuapin aku satu buah aja. Kesel deh, kamu tuh waktu itu lapar atau gimana sih?” dia terkekeh.

“Ih, tuhkan. Kamu tuh nyebelin,” Allysa menepuk keras ke pundak Andri. Andri hanya tertawa-tawa kecil.

Tiba-tiba suasana hening sebentar. Allysa memperhatikan cicak merayap ada di pinggir lampu. Tiba-tiba Andri mengeluarkan rokoknya beserta lighternya. Di hisaplah pelan-pelan rokok yang udah menyala itu. Rokok yang sedari tadi masih dia diamkan dalam bungkusnya. Beberapa saat kemudian, dia mulai menghembuskan asap rokoknya kedepan. Lalu, gak lama, Andri menatap Allysa dari atas kebawah.

Kepala Allysa dipenuhi perban putih. Tetapi wajahnya masih terlihat cantik dan manis. Rambutnya masih terlihat acak. Tidak memakai aksesoris sedikit pun, dan tidak berias juga. Hanya seadanya. Dia terlihat sangat sakit, tetapi senyumnya masih terlihat indah. Lesung pipinya selalu menemani senyum menggemaskannya itu.

“Yang, percaya gak, aku bisa menuliskan nama kamu di asap rokok ini,”

“Hah! Ah, lebay deh kamu! Mana mungkin,”

“Bisa.. mau bukti? Nih,”

Andri mulai menghisap rokoknya kuat-kuat. Dengan segera dia membuka mulutnya dan langsung mengucapkan sebuah nama.

“A-LI-SA PER-TI-WI,” sekumpulan asap keluar dari mulutnya tak berbentuk. Berbarengan dengan sebuah nama.

“Jiaah, itu mah bukan namaku yang kebentuk,”

Mereka berdua tertawa terbahak-bahak. Ini adalah hari sabtu. Dimana setiap malam di hari ini, Andri selalu mengunjungi Allysa untuk memenuhi jadwal pacarannya. Sudah 2 tahun mereka pacaran. Sekarang, mereka juga masih duduk di kelas 3 SMA. Walaupun beda sekolah, tetapi mereka sudah sangat akrab dari kecil. Rumah mereka memang berdekatan. Hanya dibatasin empat rumah berukuran cukup besar.

Beberapa saat kemudian, Andri mematikan rokoknya. Dia memegang tangan Allysa erat-erat. Lalu, akhirnya dia mengatakatkan sesuatu. Yang sangat hangat, sangat singkat, dan sangat bermakna.

“Allysa, aku sayang sama kamu. Kamu jangan pernah tinggalin aku yah. Aku mau, kita langgeng sampai kakek nenek, ajal menjemput, atau kiamat,”

Mendengar hal itu, Allysa hanya melamun. Matanya lurus menatap mata Andri yang sayup. Bibirnya tersenyum manis. Tiba-tiba wajah Andri sudah berada tidak jauh dari wajah Allysa. Kepalanya dimiringkan berlawanan. Bibirnya mulai menyentuh bibir Allysa. Saat itu mereka tenggelam dalam ciuman yang damai. Mereka saling merasakan lidah yang dilumat-lumatkan di bibir masing-masing. Tiba-tiba mata Allysa mulai meneteskan air. Kepalanya berputar-putar pening disertai kenangannya yang melambung tinggi entah kemana.

********

Saat itu jalanan di Jakarta sangat padat. Padahal hari sudah malam. Allysa menekuk wajahnya dalam-dalam. Tidak ada senyum. Tidak ada suara. Hanya diam. Sehingga suasana dalam mobil Avanza hitam yang sedang di bawa Andri sangat suram. Andri juga tidak bersuara. Sebentar-bentar dia melirik Allysa. Allysa tetap tidak merespon. Wajah manisnya di buang menatap kearah berlawanan. Beberapa menit kemudian, Andri membuka pembicaraan.

“Yang, jangan marah dong,” Sedikit-sedikit dia melirik ke depan jalan juga ke arah Allysa.

Allysa hanya diam. Sekarang dia mulai melipat tangannya. Dia tidak bersuara sedikit pun. Matanya terfokus pada pemandangan di luar.

“Yang! Kamu kok diem aja sih, aku bingung nih harus gimana,” Andri masih berusaha menyapa.

Tiba-tiba Allysa mulai membuka mulutnya, “Aku gak nyangka, kamu masih mengulang kesalahanmu. Padahal, aku dari dulu sudah berusaha percaya lagi sama kamu. Emang aku ini kamu anggap apa sih? Mainan? Boneka? Pajangan?”

Allysa meninggikan nada suaranya. Lalu Andri mulai membuka mulut lagi.

“Tapi yang, aku gak enak sama Irvin. Dia sahabat aku. Aku gak mungkin nyatain hubungan kita di depan dia, secara dia masih sayang sama kamu, walaupun sudah dua tahun berlalu,”

“Iya, aku tau. Tapi dua tahun itu bukan waktu yang lama untuk backstreet, aku gak kuat, sama sekali gak kuat,”

“Tapi, yang…”

“Tapi apa? Kamu lebih mentingin persahabatan kamu daripada aku? Apa kamu takut kehilangan pekerjaan sampinganmu itu? Dan satu lagi, kenapa kamu selalu ngerespon Nabila, sih? Artis kampungan, pelacur, perek murahan itu!!” Suara Allysa makin tinggi. Kini Sedikit air mata menetes dipipinya.

“Yang, jangan menambah masalah kita. Cukup sampai di Irvin aja,”

“Siapa yang menambah? Emang faktanya begitu! Kenapa? Takut? Kamu ka…”

“ CUKUP!!!” Andri mulai menguatkan suaranya.

“Aku mau kita putus..,” kata Allysa tenang dan kembali membuang wajahnya menatap keluar.

“Aku gak mau kita putus..,” Andri menjawab.

“Turunin aku sekarang,”

“Ngga! Lagipula sekarang sudah malam. Aku bertanggung jawab penuh mengantar kamu sampai depan rumah!”

“Gak mau!!”

Allysa mulai memaksa Andri menurunkan dirinya di tengah jalan. Dia berusaha menginjak rem, merebut setir, dan berteriak-teriak ingin diturunkan. Andri membalasnya dengan menambah kekuatan pijakannya pada gas mobil dan tangannya menghalau-halau gerakan Allysa. Mobil melaju kencang dan sangat kencang. Tetapi saat itu Andri tidak terlalu terfokus pada jalan, karena Allysa terus menggerecoki. Hingga akhirnya mobilnya mengarah ke sebuah pembatas jalan yang terbuat dari besi dengan lajunya. Andri sangat terkejut mengetahui hal itu. Dengan segera dia mendorong Allysa dan menginjak rem secepat dan sekuat mungkin. Hingga akhirnya mobil berhenti tepat di depan besi pembatas jalan. Allysa diam. Andri diam. Mereka diam. Shock dengan apa yang dilihatnya.

“Nyaris..” Kata Andri lemas.

Allysa saat itu masih diam. Dia masih shock tak berkata apa-apa. Mimik mukanya berubah pucat. Andri dengan segera menyadarkan dirinya dari kengerian sesaat. Dia mulai mengarahkan mobilnya mundur untuk kembali kejalan dengan arah yang benar.

Tapi, tiba-tiba sebuah cahaya kuning yang sangat menyilaukan menghantam mobil Avanza hitam itu dengan cepat. Mobil Avanza itu terdorong sangat jauh dari tempatnya berhenti. Di ujung sana, bentuknya sudah tidak beraturan. Tiba-tiba beberapa saat kemudian, banyak orang mengerumuni mobil Avanza hitam yang sudah terbalik itu. Ada mobil polisi dan juga mobil ambulan putih. Saat itu, Allysa terbaring ganas di dalam mobil bersama Andri.

********

“Allysa.. Allysa..” Suara wanita yang sangat halus dan ramah menyapa keheningan malam itu.

Allysa membuka matanya pelan-pelan. Pipinya sudah sangat basah dan lembab. Matanya merah dan masih berair. Ingusnya juga keluar sedikit. Dia menatap teras rumahnya yang masih sepi. Saat itu malam masih belum berubah. Bulan masih memamerkan sedikit cahayanya yang berwarna neon. Masih ada suara orang tertawa terbahak-bahak di sebelah rumahnya. Jam juga masih berubah sedikit. Tetapi tidak ada Andri yang duduk di sebelahnya. Hanya seorang wanita berumur berparas cantik, dengan struktur wajah mirip seperti dirinya.

“Mama… Andri sudah pergi selama-lamanya. Mama… Allysa sayang sama Andri..,” Dia memeluk wanita itu erat-erat

dan menangis sekancang-kencangnya.

Keheningan malam itu terpecah dengan suara tangisan Allysa yang sangat kencang. Wanita yang ternyata ibunya itu hanya mengelus kepala anaknya.

-fin-

by dimasferd

Pesan

March 14, 2010 § Leave a comment

Puteri masih berdiri di depan pintu coklat bergaya italia itu. Matanya sembab dan memerah sedikit disekitarnya. Pipinya masih basah dan lembab tetapi tetap kering. Tangannya terdiam di daun pintu. Hanya ada isakan kecil dari mulutnya. Saat itu tidak hujan, tetapi malam sangat sunyi. Tetapi suara nafasnya yang beradu tidak bisa terdengar. Dan hanya suara jangkrik saja yang paling nyaring.

Kali ini setetes air yang seharusnya asin, menetes dari dagunya yang manis. Dia mulai terduduk diam dan meringkuk memeluk kedua kakinya. Tangannya gemetaran, dan dia mulai mengucapkan sesuatu yang hamper tak jelas. Walaupun dia teriak sekalipun.

“PRIA BANGSAT! GUA BELUM SEMPAT NGASIH PELAJARAN BUAT LOE! GUE HARUS NGASIH TAU BUNDA!” Air matanya kembali deras mengalir. Tetapi tidak ada suara balasan sedikitpun dari balik pintu tersebut. Wajahnya pun masih pucat dan dingin.

————

Waktu berputar kembali. Puteri memegang kereta dorong Supermarket di salah satu Mall ternama di Jakarta. Bunda memimpin di depan. Tatapan Bunda liar tidak menentu, juga tidak terfokus. Dia mencari merek yang sudah tergambar di otaknya.

Kecap, Saus Sambel, Garam, Sabun Mandi, Sampo, Pasta Gigi …

Semuanya sudah terkumpul. Bunda langsung bersiap-siap membayar semua kebutuhan bulanan tersebut. Puteri masih mengikutinya dari belakang. Dia melamun tetapi sebenarnya tidak melamun. Dia mendengar tetapi sebenarnya tidak mendengar. Dia hanya sibuk dengan lagu-lagu yang ter-shuffle apik di Ipodnya.

Tak berapa lama, isi keranjang pun sesaat kemudian berpindah kekantong-kantong plastik putih.  Jumlahnya tidak lebih dari lima. Dengan sigap, petugas Supermarket membawakan plastik-plastik itu ke bagasi mobil Bunda. Bunda mengarahkan dengan baik. Plastik sudah tersusun rapih hanya dalam beberapa detik.

“Puteri. Bunda mau ke kantor langsung. Ada client penting. Kamu pulang saja, dan bawa ini semua. Ntar kalau dah sampai, langsung kasih ke Mbak Dewi. Ok, Sayang.” Bunda langsung menarik kepala Puteri dan mengecupnya.

“Iya Bunda. Aku langsung aja kalau gitu, deh.”

Puteri langsung menekan tombol kunci dan melambai sebentar ke arah Bunda. Saat itu bunda sudah bersiap masuk lift, untuk kembali ke dalam Mall. Beberapa menit kemudian, Mobil putih yang di tumpangi Puteri akhirnya keluar ke jalanan. Di perjalanan, Puteri mengirimkan pesan singkat melalui telpon genggamnya.

Yo. Gw udah menuju ke Rumah. Lo msh di sana kan.

Ok. Gw dah nunggu lo.

Kita main lagi kayak biasany. Gw msh pnasarn nih. Hihihi.

Gw blng juga apa. Sekali nyoba, psti ktagihn trus. Buktinya tiap hr nagih trs. Mau tanpa kondom lagi?

Siap. Bos. Gw servis lo, melebihi nyokap gw.

Ternyata, keasikan berbicara lewat pesan singkat membuatnya tidak sadar kalau di depannya ada seorang anak kecil yang berlari ke tengah jalan. Dengan polos anak kecil itu teriak sekencang-kencangnya.

———–

Adit menatap foto ayahnya erat-erat yang baru dia dapat tadi pagi. Celana merah pendek masih terpasang rapih dan tidak kusut. Dia masih sangat lugu. Tetapi dia harus menerima kenyataan kalau ibunya bekerja pada ayahnya sendiri. Kerja ibunya berat. Walaupun begitu, gaji ibunya bisa untuk menghidupi dirinya.

Dia tidak pernah mendapatkan perhatian lebih dari ibunya seperti teman sejawatnya. Tidak pernah diantar. Tidak pernah di jemput. Hingga pada suatu hari. Di hari yang sangat biasa. Dia berjalan sendiri. Sambil menggenggam erat foto ayahnya. Hal yang tidak biasa seperti hari sebelumnya.

Adit masih melangkah senang seperti biasa dipinggir jalan besar. Saat itu matahari sangat panas, seperti tungku pembakaran. Walaupun angin masih berhembus gerah. Hingga beberapa detik kemudian, disaat Adit lengah menggenggam foto ayahnya, dan angin gerah berhembus sangat kencang sesaat. Foto terlepas dari tangan mungilnya dan terlempar ke tengah jalan raya. Tanpa pikir panjang, Adit mengejar mengambilnya.

Sesampai di tengah jalan, Adit melihat sebuah mobil sedan yang melaju cukup kencang. Saat itu Adit teriak sekuat tenaga.

“Papaaaaa Aryoooooooooo!!!!!”

———–

Kasur besar itu bergoyang tak beraturan. Terdengar lenguhan dua orang diatasnya. Lenguhan yang sangat liar dan tak beraturan. Kadang terdengar seperti anjing. Kadang terdengar seperti ular. Kadang terdengar seperti Babi. Semua terdengar tidak halal.

Baju berserakan di lantai dan tak beraturan. Pakaian dalam pun tak kalah berantakan dan bersarakan di atas kasur. Dua orang pria wanita itu masih sibuk dengan urusannya. Kelamin gagah itu masih bersarang di rongga vagina yang rimbun itu. Tidak ada dialog, hanya lenguhan. Hanya keringat. Hanya air ludah.

Tiba-tiba telepon seluler sang pria berbunyi. Dia segera mengambilnya. Video rekaman yang sedari tadi nyala, dimatikan. Dia asik membalas pesan singkat yang masuk. Tetapi kegiatan pertamanya tidak berhenti begitu saja. Sang wanita kian agresif. Goyangan kasur semakin tidak menentu. hingga akhirnya sang cowok menyelesaikan kegiatan berkirim pesannya. Dia berkata.

“Adit junior sebentar lagi keluar. Ayo lebih kencang lagi.”

Sang Wanita hanya melenguh-lenguh. Gerakan sang cowok makin kuat. Hingga akhirnya sampai pada klimaksnya.  Sang Wanita terkulai lemas, dan Sang pria pun tidak berdaya. Akhirnya mereka pun langsung membereskan semuanya.

“Makasih ya, Dewi.” Sang pria mengecup bibir sang Wanita.

————

Akhirnya Puteri membelokan mobilnya yang kencang itu setajam mungkin. Tiba-tiba, mobilnya terbalik ganas. Ditambah dengan truk yang ikut menghantam mobil sedan putih itu dengan lebih ganas. Mobilnya hancur tak berbentuk dan Puteri sudah tidak bernyawa.

Anak kecil itu selamat. Tetapi Puteri tidak. Anak kecil itu kembali ke rumah. Dan Puteri pun ikut. Walaupun Puteri sudah meninggal. Karena ternyata dia harus menyampaikan pesan kepada ibunya sebelum dia pergi selama-lamanya. Pesan tentang dosa dirinya sendiri, pesan tentang dosa ayah tirinya, dan pesan untuk bunda.

-fin-

by dimasferdi

March 14, 2010 § Leave a comment

Art : CORAL IS OUR CULTURE (by me)

sebenarnya ini dulu mau gue pake buat lomba poster. Berhubung pesimis banget, jadi gak gue kirim. Gue upload ajadeh.

March 14, 2010 § Leave a comment

Art : Under Water (by me)

I Love Water and Blue. =)

March 14, 2010 § Leave a comment

Art : Second Tasting (by me)

Practice… Practice… Practice 

March 14, 2010 § Leave a comment

Art : Tree Blossom (by me)

Blossom is the color of beatiful thinks. It is lovly and adorable. But, it is so quiet.

Kertas Putih

March 14, 2010 § Leave a comment

Kertas putih itu sedari tadi tadi kosong. Tanpa ada warna sedikitpun. Kuseruput kopi yang dari tadi ada disebelahku. Aku menatap langit-langit yang dipenuhi lampu kuning dengan desain gaya eropa. Ada kaca desekitarnya. Aku melihat diriku sendiri. Duduk di sofa warna hijau tua yang empuk dengan meja bundar di depanku. Lumayan sepi suasana tempat ini. Dan aku bisa dengan pas duduk nyaman disamping kaca yang menghadap keluar.

Ada seorang eksekutif muda yang sedang mengetik sesuatu di depannya. Tetapi tidak tahu apa yang pria itu fokuskan. Pekerjaan kah, jodohkah, atau pertemanan. Iya. Kafe ini punya fasilitas Internet super lengkap. Jika pria berdasi itu yang masih aku pandangi menggunakan internet.

Aku sudah membayangkan apa yang sedang dia kerjakan. Menulis komennya untuk teman-temannya yang bergaya hedon ala kota Jakarta. Bibirnya sesekali tersenyum, berarti sudah jelas dia tidak melakukan pekerjaan yang serius. Yah, pasti dia sedang membuka situs jejaring social terkenal. Dia sedang mengomentari tingkah laku sahabat-sahabatnya yang unik-unik. Tangannya mulai bergerak-gerak, berarti dia sedang mengetik sesuatu atau mengganti slide album. Tetapi tiba-tiba dia tertawa kecil yang seolah-olah aku bisa membayangkan betapa lucunya apa yang ada di depannya.

Ohh, mungkin dia sedang chatting. Tanpa webcam menyala. Soalnya aku hanya melihat dia senang dengan apa yang diketik tanpa mengurusi penampilannya yang agak berantakan. Yah rambutnya kering dan belum teratur sedikit. Walaupun dasinya sudah terpasang simetris dan longgar. Dia tidak peduli untuk mengencangkan kembali. Aku yakin dia berbicara dengan teman-temannya yang hedon. Yang bergaya mahal ditengah-tengah kemiskinan.

Aku seruput lagi segelas capucinno itu. Tiba-tiba dia makin serius. Wajahnya menjadi tegang dan berubah ekspresif. Hey, apa yang sedang dikerjakan. Dia seolah marah. Matanya yang dari tadi tenang nyaris keluar. Tanganya masih melakukan sesuatu dengan komputer jinjing yang dibawanya. Dia diam. Tidak senyum. Tidak bersuara. Dan Tidak menyeruput minumannya lagi. Tiba-tiba dia berseru lumayan terdengar.

“YES! First Blood.”

Aku tersenyum dan tertawa sendiri, karena aku tidak berdua disini. Akhirnya aku melihat keluar melupakan pria itu.

Diluar ada seorang perempuan menyeret anaknya. Anaknya masih berumur sangat muda dan kecil. Ibunya menggenggam tangan anaknya erat-erat sehingga anak itu seperti merasa ketakutan. Dia mulai terlihat marah-marah menatap mata anak itu. Dan si anak kecil hanya menunduk ketakutan. Tangannya sudah siap-siap menghajar makhluk kecil itu. Akhirnya dia mengikuti intruksi ibunya dengan baik.

“Ibu macam apa itu.”Pikirku.

Tiba-tiba sang wanita yang dari tadi menarik anaknya itu, berjalan menuju ke sebuah mobil. Di depan mobil itu ada seorang wanita yang terlihat sangat sibuk. Dengan pakain lengkap eksekutif wanita. Dia masih terhanyut di dalam telpon. Hingga ibu yang hampir memukul anaknya itu menunggu dengan tenang. Tenang sekali tidak seperti saat dia menarik tangan anaknya dari ujung jalan.

Sang wanita karir itu menyelesaikan teleponnya dan menoleh ke ibu dari anak itu. Dia seperti mengatakan sesuatu, dan sang ibu menyerahkan sang anak ke wanita karir. Sang ibu terlihat seperti babu yang manggut-manggut nurut. Dia terlihat sangat lemah saat itu. Sang anak memeluk wanita karir itu erat-erat. Dibibirnya terbaca kata-kata.

“Mama, aku sayang mama.”

Aku kaget setengah mati. Aku tersenyum. Aku berpersepsi. Yang kulihat adalah imajinasi ku. Yang kuceritakan adalah imajinasiku. Aku membayangkan fiksi. Aku membayangkan yang tidak nyata. Seperti kertas putih di depan ku, sebenanarnya itu bukan kertas putih. Karen tidak ada kertas sedikitpun. Tentu saja, di kafe yang modern ini, aku tidak akan hanya membawa kertas putih. Tetapi aku bawakan alat yang bisa menyesuaikan zamannya.

Aku tidak bohong. Itulah yang aku lihat di kepalaku. Aku tidak dusta. Karena aku tidak menyebarkannya. Sama seperti kertas putih ini, tidak bernilai dan hanya biasa. Tetapi aku sudah terbiasa untuk merubahnya menjadi tidak biasa.

-fin-

By dimasferdi

March 2, 2010 § Leave a comment

Art : Practice Digital Painting 2 (Face)

akhirnya. Bikinnya setengah jam, nunggu kuliah >.< . Latihan seadanya. pake Photoshop CS4.

Where Am I?

You are currently viewing the archives for March, 2010 at Dimas & Dimce.